PALING kurang ada delapan persoalan yang belakangan ini merasuk Indonesia melalui wilayah atau kawasan perbatasan Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Kedelapan persoalan itu diidentifikasi pada seminar nasional "Reposisi dan Revitalisasi Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud", meliputi kawasan perbatasan rentan terhadap intervensi asing, terutama Pulau Maroreh dan Miangas.
Kemudian kawasan perbatasan rentan terhadap perdagangan dan penyelundupan senjata dari Mindanao, Filipina Selatan, menuju daerah-daerah konflik di Indonesia, seperti laporan resmi yang menyebut masuknya senjata ke wilayah konflik Maluku Utara, Maluku, dan Poso di masa lalu.
Kawasan perbatasan dilaporkan menjadi kawasan transit bagi alur lalu lintas teroris internasional. Hal itu terungkap dalam berbagai laporan resmi dan sidang pengadilan beberapa kasus teror. Lalu, kawasan perbatasan menjadi ajang perdagangan dan penyelundupan barang-barang elektronik, narkoba, serta minuman beralkohol dan non-alkohol. Lainnya, peredaran dollar AS palsu, penangkapan ikan ilegal, dan pengapalan di tengah Laut Sulawesi dan perairan Sangihe Talaud. Begitu pula kawasan perbatasan dilaporkan selama ini sebagai daerah miskin dan rawan bencana alam, termasuk sering terisolasi akibat ganasnya gelombang laut pada musim tertentu. Serta, perkembangan teknologi informasi global yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal.
Kondisi obyektif lainnya, wilayah ini berbatasan langsung dengan kawasan Mindanao, Filipina Selatan, yang puluhan tahun bergolak. Di Mindanao, hingga sekarang, entah kapan berakhir, masih dijejali persoalan pemberontakan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Abu Sayyaf dengan sayap internasionalnya, dan eksisnya sebagian gerilyawan komunis yang dikenal dengan The New People’s Army (NPA).
Hal ini menjadi persoalan sangat penting bagi Indonesia karena apabila wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud bobol akibat delapan persoalan yang diidentifikasi pada seminar tentang perbatasan tersebut, suka atau tidak, itu ikut memperlemah posisi Indonesia.
Artinya, jika Kabupaten Kepulauan Talaud bobol, yang bobol bukan cuma Talaud dan Sulawesi Utara, juga Indonesia. Buktinya, kasus senjata selundupan ke daerah konflik Indonesia lewat perbatasan Sangihe dan Talaud ikut mengganggu kepentingan Indonesia.
Ini sekaligus bukti bahwa sakitnya bagian dari Indonesia, seperti halnya kemiskinan yang melanda Kepulauan Talaud, juga membuat Indonesia ikut sakit. Artinya, kemiskinan dan beragam keterbatasan yang melanda Talaud menjadi amat strategis untuk ditanggulangi, terutama karena fungsi penduduk di sana sekaligus penjaga kedaulatan Ibu Pertiwi.
Mana mungkin warga di Talaud dapat menjadi penjaga perbatasan yang andal dan gagah berani apabila ekonominya buruk, miskin, kesehatannya kurang menunjang, dan pendidikannya serba pas-pasan. Demi keamanan perbatasan, tidak bisa serta-merta menempatkan tentara dalam jumlah besar sebab selain mahal tidak akan cukup memecahkan persoalan.
Alternatif terbaik di antaranya ialah memberdayakan rakyat dari sisi ekonomi dan sosial budaya. Perekonomian rakyat harus didorong sehingga mampu dalam arti memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Jangan lagi terjadi, untuk perawatan atau pelayanan kesehatan, rakyat perbatasan harus ke Manado, ibu kota provinsi.
Pendidikan rakyat pun harus ditingkatkan. Dan, tentu tak boleh lagi terjadi bahwa karena minimnya fasilitas pendidikan, warga yang menginginkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi beramai-ramai meninggalkan daerah. Setelah selesai, warga enggan kembali ke kampung halaman karena ketiadaan pekerjaan.
Persoalan lain yang semestinya menjadi perhatian adalah pentingnya peningkatan infrastruktur perhubungan sehingga aksesibilitas rakyat untuk memobilisasi perekonomiannya menjadi semakin terbuka. Harus bisa dihindarkan, kegiatan ekonomi rakyat mandek akibat terhadang gelombang laut ganas pada delapan bulan (laut tenang di Satal cuma berkisar empat bulan, bulan April-Juli).
PERSOALAN mendasar lainnya di Sangihe dan Talaud adalah berkaitan dengan eksisnya 80 pulau kosong. Catatan resmi Pemerintah Kabupaten Sangihe dan Talaud menyebutkan, dari seluruh 124 pulau di kedua wilayah perbatasan itu, 80 pulau di antaranya tak lagi dihuni manusia. Beberapa puluh pulau disebutkan proses pengosongannya terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Setelah ditelusuri, ternyata hal itu akibat rusaknya sistem lingkungan hidup menyusul penggundulan hutan. Rusaknya sistem lingkungan hidup (ekosistem) di daerah itu akibat penggundulan hutan berdampak sangat parah pada kehidupan masyarakat.
Tanah menjadi kerdil, yang giliran berikutnya memiskinkan rakyat. Untuk bisa survive, mereka terpaksa meninggalkan pulau yang dihuni itu menuju ke pulau yang masih mampu memberi jaminan kehidupan dan masa depan. Dilaporkan juga, akibat sistem lingkungan rusak, air bersih sulit ditemukan sehingga mempercepat proses pengosongan pulau tertentu.
Jawaban atas persoalan di Satal, khususnya Talaud yang menjadi kabupaten paling utara di Indonesia dan berbatasan dengan Mindanao, sebetulnya sudah diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri saat meresmikan seminar nasional tentang Satal, Maret 2003.
Presiden mengatakan, faktor paling penting untuk memecahkan persoalan adalah meningkatkan peran manusia selaku pelaku utama di lapangan. Dalam seminar itu disimpulkan, paradigma pendekatan terhadap daerah perbatasan harus diubah. Dari memandang perbatasan sebagai halaman belakang atau wilayah pinggiran menjadi halaman depan Indonesia. (Freddy Roeroe)
Posting Komentar