Kabupaten Kepulauan Talaud
Headlines News :
Home » , » TPA SAMPAH DESA MALA TALAUD; Perkiraan Dampaknya Bagi Lingkungan

TPA SAMPAH DESA MALA TALAUD; Perkiraan Dampaknya Bagi Lingkungan

Written By Unknown on Minggu, 10 Agustus 2014 | 15.38

Pemerhati Lingkungan Perkotaan pada LS2LP (Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan
Oleh: PAULUS LONDO
Salah Satu Sudut Di Kota Melonguane-Talaud

Salah Satu Sudut Di Kota Melonguane-Talaud


“Tumpukan Sampah.” Itulah salah satu masalah yang kini mulai dikeluhkan warga di Melonguane, ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud. Hal ini setidaknya terungkap dari kegundahan seorang warga Desa Mala yang merasa terganggu kehadiran TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang berlokasi dekat pemukiman mereka. “Lama-lama desa kami tertimbun sampah yang berasal dari Melong,” tulis dia di layar FB.

Tentu, pada beberapa dekade silam problema semacam ini bukan hal yang serius karena desa Melonguane dan sekitarnya masih berupa kawasan pedesaan dengan daya dukung lingkungan masih sangat memadai. Tapi seiring dengan penetapannya menjadi ibukota kabupaten, kawasan ini bakal berubah menjadi area perkotaan yang berimplikasi baik terhadap lingkungan maupun bagi kehidupan masyarakat.

Sebagaimana terjadi di kawasan perkotaan pada umumnya,salah satu masalah yang cukup krusial penanganannya adalah sampah. Hal ini karena sampah senantiasa erat dengan kehidupan masyarakat, sehingga cenderung eskalatif seirama dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Volume dan jenisnya akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi serta perilaku masyarakat selaku “produsen sampah.” Sampah, memang merupakan hasil produksi manusia yang tak pernah habis. Karena itu, upaya penanggulangannya pun seyogyanya mendapat perhatian serius dan seimbang dengan perhatian terhadap kebutuhan masyarakat lainnya.

Patut dipahami bahwa, ketidakhirauan terhadap sampah, atau pola pengelolaannya yang hanya dilakukan secara seadanya pada gilirannya membawa malapetaka bagi masyarakat itu sendiri. Tragedi, longsornya “bukit” sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) Leuwigajah Bandung pada Senin 21 Februari 2005 silam, misalnya, bisa jadi salah satu bukti kegagalan mengelola sampah secara baik dan benar yang berbuah malapetaka. Kajadian di TPA yang menggunakan pola konvensional “open dumping” ini telah menelan banyak korban yakni 142 jiwa tewas (yang ditemukan), kurang lebih 60 rumah ambruk tertimbun sampah, dan sekitar 170 warga hilang tertelan timbunan sampah dengan ketebalan di atas 15 meter.

Lantas, bagaimana dengan TPA di Desa Mala yang kini mulai dikeluhkan warga setempat ?

Menyimak pemberitaan media, TPA desa Mala, juga menggunakan sistem open dumping, yakni pola pengelolaan sampah paling konvesional (primitif ?) yang dengan cara menumpukan sampah pada satu lokasi dan membiarkannya terurai secara alamiah. Kelemahan umum dari sistem pengelolaan sampah seperti ini, selain tidak ramah terhadap lingkungan sekitarnya, juga berpotensi membentuk “bukit sampah” karena sampah yang ditumpuk di TPA tidak cepat terurai secara alami. Tumpukan sampah yang dibiarkan membusuk, tentu selain menebar bau tidak sedap, juga menghasilkan gas metana yang tidak baik bagi lingkungan. Sementara rembesan air lindi yang keluar dari tumpukan sampah dapat mencemari sumber-sumber air yang dikonsumsi warga setempat.

Karena itu, terkait dengan keberadaan TPA di Desa Mala yang menggunakan sistem open dumping ada beberapa hal yang patut dikaji secara lebih mendalam, yakni:

a. Seberapa besar “daya tampung” TPA tersebut agar tidak mengganggu dan mengancam kehidupan masyarakat setempat. Hal ini tentu perlu perhatian sebab dengan penumpukan sampah secara terus menerus di TPA tersebut, pada akhirnya membentuk bukit sampah yang dapat mengancam kehidupan penduduk.

b. Bagaimana dampak terhadap lingkungan sekitarnya, seperti gangguan aroma tak sedap, rembesan air lindi dari sampah yang kemungkinan masuk ke dalam sungai atau sumur miliki warga, dan sebagainya.

c. Bagaimana masa depan TPA tersebut dalam kaitannya dengan rencana pengembangan ibukota kabupaten di masa mendatang.

TPA Desa Mala dan Pengembangan Ibu Kota Kabupaten
Jika melihat pembangunan infrastruktur di ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud saat ini, terlihat adanya kecenderungan bergerak ke arah timur, yang ditandai dengan adanya RSUD di Desa Mala, dan Pangkalan TNI AL di Desa Kiama. Dengan demikian, pada saatnya, Ibukota Kabupaten Talaud mencakup tiga desa yakni, Melonguane, Mala dan Kiama. Bahkan dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana, baik untuk kepentingan pemerintahan maupun bisnis, tak mustahil tiga desa itu akan menjadi satu kesatuan kawasan perkotaan.

Kecenderungan kearah itu semakin nyata jika dikaitkan dengan rencana pemerintah kabupaten akan mengembangkan kawasan selat antara Pulau Karakelang dan Pulau Salibabu sebagai kawasan pariwisata, khususnya wisata bahari. Dalam penjelasannya kepada wartawan, bulan Pebruari silam, Bupati Talaud C Ganggali menegaskan bahwa sebagai langkah awal Pemkab Talaud akan melarang penangkapan ikan di daerah (perairan laut) antara Melonguane-Lirung dan Kolongan-Melonguane untuk menjaga kelestarian terumbu karang yang ada. “Karena daerah tersebut nantinya akan dijadikan lokasi penyelaman (diving),“ kata dia. Penangkapan ikan hanya dibolehkan bila ikan yang ada di daerah ini berkembang biak dan keluar dari lokasi yang dikhususkan untuk diving, lanjut Ganggali.

Jika pengembangan ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud bergerak seperti ini, pada saatnya TPA Desa Mala bakal berada di tengah kota, sehingga akan sangat mengganggu tampilan wajah ibukota sehingga jadi tidak elok di mata para wisatawan. Namun, permasalahannya yang rumit dan kompleks adalah memelihara perairan selat Lirung-Melong – Kolongan, dari ancaman pencemaran yang bisa terjadi karena adanya TPA di Desa Mala.

Letak TPADesa Mala yang berhadapan dengan perairan selat ini, sangat berpotensi mencemari lokasi penyelaman, baik oleh sampah baik karena yang terbawa aliran sungai atau karena ada yang sengaja membuangnya ke laut. Begitu pula pencemaran oleh limbah cair (air lindi dari TPA, misalnya) yang mengalir dari darat ke laut. Smentara tanpa keberadaan TPA tersebut pun peluang terjadinya pencemaran juga bakal tinggi mengingat banyaknya instalasi yang bakal dibangun disepanjang pesisir pantai di kawasan ini.

Mengingat pentingnya sekaligus bakal rumitnya pengendalian sampah di masa mendatang, pemerintah dan masyarakat seyogyanya melakukan upaya antisipasi yang nyata. Misalnya, dengan membangun instalasi pegolah sampah yang memadai. Patut diketahui bahwa saat ini, sudah banyak kota melakukan pengolahan sampah, antara lain untuk dijadikan sebagai sumber energi listrik. Sementara daur ulang sampah secara kreatif juga telah banyak menjadi komoditas ekspor.
Upaya seperti ini seyogyanya bisa dikembangkan di Talaud, mengingat keterbatasan lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai TPA Sampah. (LS2LP)
Share this post :

Posting Komentar

 
Template Created by Creating Website Published by Evert Sandye Taasiringan
Proudly powered by Blogger